Apa itu Cyberlaw?
Cyberlaw adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya),
yang umumnya diasosiasikan dengan Internet. Cyberlaw dibutuhkan karena dasar
atau fondasi dari hukum di banyak negara adalah "ruang dan waktu".
Sementara itu, Internet dan jaringan komputer mendobrak batas ruang dan waktu
ini.
Perkembangan teknologi
komunikasi dan komputer sudah demikian pesatnya sehingga mengubah pola dan
dasar bisnis. Untuk itu cyberlaw ini sebaiknya dibahas oleh orang-orang dari
berbagai latar belakang (akademisi, pakar TekInfo, teknis, hukum, bisinis, dan pemerintah).
Secara
umum , materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE)
dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu pengaturan mengenai informasi dan
transaksi elektronik dan pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang.
Pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik mengacu pada beberapa
instrumen internasional, seperti UNCITRAL Model Law on eCommerce dan UNCITRAL
Model Law on eSignature. Bagian ini dimaksudkan untuk mengakomodir
kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat umumnya guna
mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi elektronik. Beberapa
materi yang diatur, antara lain: 1. pengakuan informasi/dokumen elektronik
sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 & Pasal 6 UU ITE); 2. tanda
tangan elektronik (Pasal 11 & Pasal 12 UU ITE); 3. penyelenggaraan
sertifikasi elektronik (certification authority, Pasal 13 & Pasal 14 UU
ITE); dan 4. penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 & Pasal 16 UU
ITE);
Sedangkan
pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang (cybercrimes) mengacu pada
ketentuan dalam EU Convention on Cybercrimes, 2001. Beberapa materi
perbuatan yang dilarang (cybercrimes) yang diatur dalam UU ITE, antara lain: 1.
konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian,
Perlukah Cyberlaw
Semenatra itu cyberlaw digunakan untuk mengatur netizen.
Perbedaan antara citizen dan netizen ini menyebabkan cyberlaw harus ditinjau
dari sudut pandang yang berbeda.
Citizen = warganegara
NETIZEN alias INTERNET CITIZEN
Mengingat jumlah
pengguna Internet di Indonesia yang masih kecil, apakah memang cyberlaw sudah
dibutuhkan di Indonesia? akan tetapi permasalahan yang banyak pada NITIZEN
ini patut diwaspadai . ada pun beberapa contoh permasalahan sementara ini .
membuat sebagian orang tesankut masalah .
contoh peraturan dan kasus yang sudah dibahas pemerintah antara lain : penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE); 2. akses ilegal (Pasal 30); 3. intersepsi ilegal (Pasal 31); 4. gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE); 5. gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal 33 UU ITE); 6. penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 UU ITE); Penyusunan materi UUITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun oleh dua institusi pendidikan yakni Unpad dan UI. Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi sedangkan Tim UI oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan para pakar di ITB yang kemudian menamai naskah akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan tim UI menamai naskah akademisnya dengan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik.
Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh tim yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono), sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR.
contoh peraturan dan kasus yang sudah dibahas pemerintah antara lain : penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE); 2. akses ilegal (Pasal 30); 3. intersepsi ilegal (Pasal 31); 4. gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE); 5. gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal 33 UU ITE); 6. penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 UU ITE); Penyusunan materi UUITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun oleh dua institusi pendidikan yakni Unpad dan UI. Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi sedangkan Tim UI oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan para pakar di ITB yang kemudian menamai naskah akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan tim UI menamai naskah akademisnya dengan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik.
Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh tim yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono), sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR.
Digital Signature
Dalam perniagaan, tanda
tangan digunakan untuk menyatakan sebuah transaksi. Kalau di Indonesia, tanda
tangan ini biasanya disertai dengan meterai. Nah, bagaimana dengan transaksi
yang dilakukan secara elektronik? Digital signature merupakan pengganti dari
tanda tangan yang biasa.
Perlu dicatatat bahwa digital signature tidak sama dengan mengambil image dari tanda tangan kita yang biasa kemudian mengkonversikannya menjadi "scanned image". Kalau yang ini namanya "digitalized signature".
Digital signature berbasis kepada teknology kriptografi (cryptography). Keamanan dari digital signature sudah dapat dijamin. Bahkan keamanannya lebih tinggi dari tanda tangan biasa. Justru disini banyak orang yang tidak mau terima mekanisme elektronik karena menghilangkan peluang untuk kongkalikong.
Perlu dicatatat bahwa digital signature tidak sama dengan mengambil image dari tanda tangan kita yang biasa kemudian mengkonversikannya menjadi "scanned image". Kalau yang ini namanya "digitalized signature".
Digital signature berbasis kepada teknology kriptografi (cryptography). Keamanan dari digital signature sudah dapat dijamin. Bahkan keamanannya lebih tinggi dari tanda tangan biasa. Justru disini banyak orang yang tidak mau terima mekanisme elektronik karena menghilangkan peluang untuk kongkalikong.
Inisiatif di Indonesia
Ada beberapa hal atau
inisiatif yang sudah dilakukan di Indonesia, antara lain:
·
Usaha dari Fakultas
Hukum UI dan UNPAD.
·
dan parakaum
intelektual lainnya
CYBER CRIME PADA
BEBERAPA NEGARA
Di Amerika, Cyber Law yang mengatur transaksi elektronik
dikenal dengan Uniform Electronic Transaction Act (UETA). UETA adalah salah
satu dari beberapa Peraturan Perundang-undangan Amerika Serikat yang diusulkan
oleh National Conference of Commissioners on Uniform State Laws (NCCUSL). Sejak
itu 47 negara bagian, Kolombia, Puerto Rico, dan Pulau Virgin US telah
mengadopsinya ke dalam hukum mereka sendiri. Tujuan menyeluruhnya adalah untuk
membawa ke jalur hukum negara bagian yang berbeda atas bidang-bidang seperti
retensi dokumen kertas, dan keabsahan tanda tangan elektronik sehingga
mendukung keabsahan kontrak elektronik sebagai media perjanjian yang layak.
UETA 1999 membahas diantaranya mengenai :
Pasal 5 :
mengatur penggunaan dokumen elektronik dan tanda tangan
elektronik.
Pasal 7 :
memberikan pengakuan legal untuk dokumen elektronik, tanda
tangan elektronik, dan kontrak elektronik.
Pasal 8 :
mengatur informasi dan dokumen yang disajikan untuk semua
pihak.
Pasal 9 :
membahas atribusi dan pengaruh dokumen elektronik dan tanda
tangan elektronik.
Pasal 10 :
menentukan kondisi-kondisi jika perubahan atau kesalahan
dalam dokumen elektronik terjadi dalam transmisi data antara pihak yang
bertransaksi.
Pasal 11 :
memungkinkan notaris publik dan pejabat lainnya yang
berwenang untuk bertindak secara elektronik, secara efektif menghilangkan
persyaratan cap/segel.
Pasal 12 :
menyatakan bahwa kebutuhan “retensi dokumen” dipenuhi dengan
mempertahankan dokumen elektronik.
Pasal 13 :
“Dalam penindakan, bukti dari dokumen atau tanda tangan
tidak dapat dikecualikan hanya karena dalam bentuk elektronik”
Pasal 14 :
mengatur mengenai transaksi otomatis.
Pasal 15 :
mendefinisikan waktu dan tempat pengiriman dan penerimaan
dokumen elektronik.
Pasal 16 :
mengatur mengenai dokumen yang dipindahtangankan.
Sedangkan di Malaysia sebagai negara pembanding terdekat
secara sosiologis, Malaysia sejak tahun 1997 telah mengesahkan dan
mengimplementasikan beberapa perundang-undangan yang mengatur berbagai aspek
dalam cyber law seperti UU Kejahatan Komputer, UU Tandatangan Digital, UU
Komunikasi dan Multimedia, juga perlindungan hak cipta dalam internet melalui
amandemen UU Hak Ciptanya. Sementara, RUU Perlindungan Data Personal kini masih
digodok di parlemen Malaysia.
The Computer Crime Act itu sendiri mencakup mengenai
kejahatan yang dilakukan melalui komputer, karena cyber crime yang dimaksud di
negara Malaysia tidak hanya mencakup segala aspek kejahatan/pelanggaran yang
berhubungan dengan internet. Akses secara tak terotorisasi pada material
komputer, adalah termasuk cyber crime. Hal ini berarti, jika saya memiliki
komputer dan anda adalah orang yang tidak berhak untuk mengakses komputer saya,
karena saya memang tidak mengizinkan anda untuk mengaksesnya, tetapi anda
mengakses tanpa seizin saya, maka hal tersebut termasuk cyber crime, walaupun
pada kenyataannya komputer saya tidak terhubung dengan internet.
Lebih lanjut, akses yang termasuk pelanggaran tadi (cyber
crime) mencakup segala usaha untuk membuat komputer melakukan/menjalankan
program (kumpulan instruksi yang membuat komputer untuk melakukan satu atau
sejumlah aksi sesuai dengan yang diharapkan pembuat instruksi-instruksi
tersebut) atau data dari komputer lainnya (milik pelaku pelanggar) secara aman,
tak terotorisasi, juga termasuk membuat komputer korban untuk menjalankan
fungsi-fungsi tertentu sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh pelaku
pelanggar tadi.
Hukuman atas pelanggaran The computer Crime Act :
Denda sebesar lima puluh ribu ringgit (RM50,000) dan atau
hukuman kurungan/penjara dengan lama waktu tidak melebihi lima tahun sesuai
dengan hukum yang berlaku di negara tersebut (Malaysia).
The Computer Crime Act mencakup, sebagai berikut :
•Mengakses material komputer tanpa ijin
•Menggunakan komputer untuk fungsi yang lain
•Memasuki program rahasia orang lain melalui komputernya
•Mengubah / menghapus program atau data orang lain
•Menyalahgunakan program / data orang lain demi kepentingan
pribadi
Cyber Law yang terdapat di Indonesia biasa dikenal dengan
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE adalah
ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum
Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di
wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan
kepentingan Indonesia. Pada UU ITE 2008 yang dibahas antara lain :
Pasal 5, 6 :
mengatur ketentuan mengenai informasi elektronik yang
dianggap sah.
Pasal 7, 8 :
hak seseorang atas informasi/dokumen elektronik.
Pasal 9 :
mengatur informasi yang disediakan oleh pelaku usaha yang
menawarkan produk melalui sistem elektronik.
Pasal 11 :
mengatur keabsahan tanda tangan elektronik.
Pasal 12 :
mengatur mengenai kewajiban pemberian keamanan atas tanda tangan
elektronik.
Pasal 13, 14 :
mengatur mengenai penyelenggaraan sertifikasi elektronik.
Pasal 15, 16 :
mengatur mengenai penyelenggaraan sistem elektronik.
Pasal 17-22 :
mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi elektronik.
Pasal 23 :
mengatur hak kepemilikan dan penggunaan nama domain.
Pasal 24 :
mengatur mengenai pengelolaan nama domain.
Pasal 27 :
melarang beredarnya informasi/dokumen elektronik yang
melanggar kesusilaan, memuat perjudian, penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik, serta pemerasan dan/atau pengancaman.
Pasal 28 :
melarang penyebaran berita yang merugikan konsumen dalam
transaksi elektronik, serta informasi yang berbau SARA.
Pasal 29 :
melarang pengiriman informasi/dokumen elektronik yang berisi
ancaman kekerasan atau menakut-nakuti individu secara pribadi.
Pasal 30-37 :
melarang orang dengan sengaja tanpa hak atau melawan hukum
atas komputer, sistem elektronik, informasi elektronik, dan/atau dokumen
elektronik oleh pihak yang tidak berwenang.
Pasal 45-51 :
mengatur sanksi yang diberikan jika melanggar undang-undang
Pasal 27 sampai dengan Pasal 36, yaitu denda antara Rp 600 juta sampai dengan
Rp 12 milyar, atau pidana penjara antara 6 sampai 12 tahun.
Cyber Law di Indonesia sudah cukup bagus penanganannya,
hanya saja masih terdapat beberapa hal yang kurang seperti masalah spam dan ODR
yang belum dibuat undang-undangnya. Tetapi terkadang masalah tentang pengaduan
atau keluhan terhadap suatu instansi di dalam e-mail dapat membuat pengadu
menjadi tersangka padahal hanya bermaksud untuk memberikan suatu masukan agar
pengawasannya lebih ditingkatkan.
Sumber :
http://tgskull.blogspot.co.id/2012/10/apa-itu-cyber-law.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar